NISN, Dirilis Kemudian Dilupakan (Bagian 1)




Oleh: Achmad Taufiqurrohman

Selama mengurusi NISN dari tahun 2008 hingga sekarang, lebih banyak rasa sedih daripada sukanya. Bukan karena beban pekerjaannya, namun karena disadari atau tidak NISN telah membuat susah banyak siswa kita (entah mereka sadar atau tidak) hanya untuk hal yang mungkin belum ada manfaatnya bagi mereka, paling tidak untuk saat ini.

Dalam lingkungan data, keberadaan sebuah nomer yang unik seperti NISN adalah suatu hal yang mutlak. Berangkat dari titik inilah kemdikbud mengambil action yang diperlukan. Kemudian bendera pun dikibarkan, program  dapodik dicanangkan, sosialisasi dilakukan, dan uang rakyatpun dibelanjakan. Dalam hal ini, yakinlah bahwa langkah kemdikbud sudah tepat.

Namun sayang, dalam sejarah manusia, semangat dengan visi dan konsep yang kurang matang hanya akan memakan korban. Demikian pula yang terjadi pada NISN.

Tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman saya selama mengurusi NISN, judulnya memang seperti itu karena saya sedang ingin mengkritik suatu pihak dan menarik perhatian pembaca yang syukur-syukur adalah pemangku kebijakan di Jakarta sana. Saya juga menyertakan link di beberapa bagian sebagai referensi agar tulisan ini bukan sekedar opini saja.

Sengaja tiap paragraf dalam tulisan ini saya berikan nomer agar pembaca lebih mudah bernavigasi saat berinteraksi dengan tulisan yang panjang ini. Dan karena panjang inilah saya membagi dalam beberapa artikel.

CERITA NISN

  1. NISN atau Nomer Induk Siswa Nasional adalah nomor yang diberikan dan dibuatkan oleh Pemerintah (dalam hal ini Kemendikbud) kepada anak Indonesia yang menjadi pelajar. NISN diberikan sejak siswa tersebut masuk kelas 1 SD dan berlaku selamannya walaupun siswa tersebut sudah tidak menjadi pelajar.
  2. Secara fisik, NISN adalah deretan angka 10 digit yang diawali dengan dua digit terakhir dari tahun lahir siswa.
  3. NISN saat ini diterbitkan dan dikelola oleh PDSP Kemendikbud (PDSP=Pusat Data dan Statistik Pendidikan). Pengajuan NISN baru bagi siswa dan perubahan data, dilakukan oleh Sekolah melalui suatu mekanisme.
  4. Secara garis besar mekanisme tersebut adalah sekolah mengajukan permintaan NISN baru melalui email kepada PDSP dengan menggunakan suatu format spreadsheet (.xls) tertentu yang disediakan PDSP di website nisn.data.kemdiknas.go.id, setelah diterima dan diterbitkan, hasilnya bisa dilihat di website resmi NISN oleh PDSP dan website refp.data.
  5. Pada saat tulisan ini dibuat (Pebruari 2014), terdapat dua versi pengajuan NISN baru. Pertama versi pengajuan email seperti yang sudah saya sampaikan pada poin sebelumnya, yang kedua versi pengajuan via aplikasi Dapodikdas 2013.
  6. Pada versi kedua, pengajuan NISN baru dilakukan cukup dengan mengosongkan NISN pada data siswa di aplikasi Dapodikdas, dan operator boleh berharap NISN baru akan langsug tertera di aplikasi setelah beberapa kali sinkronisasi data.
  7. Sebenarnya kabar pengajuan NISN versi kedua ini sudah beredar di operator melalui grup Infopendataan di facebook sejak diluncurkannya apikasi Dapodik 2012. Namun hingga keluarnya aplikasi baru Dapodikdas 2013, belum ada kabar dari operator lain mengenai kesuksesan pengajuan ini.
  8. Pengajuan NISN versi kedua ini menurut saya tidak menghapus pengajuan versi pertama. Hal ini saya dasarkan pada dua fakta. Pertama, informasi pengajuan NISN via email (versi pertama) di website NISN masih ada dan belum dihapus atau diganti oleh PDSP. Kedua, dalam surat edaran resmi hanya disebutkan pengajuan NISN untuk siswa tingkat 1 SD (kelas 1 SD) dilakukan dengan mengosongkan kolom NISN pada data siswa di aplikasi Dapodikdas 2013 dan tidak secara tegas menyebutkan bahwa pengajuan NISN via email (versi pertama) ditiadakan.
  9. Timbul pertanyaan besar di kalangan operator berkenaan dengan keluarnya surat edaran tersebut, bagaimana dengan siswa selain kelas 1 SD yang belum memiliki NISN?. Awalnya saya sempat bertanya balik. Bagaimana mungkin siswa selain kelas 1 SD tidak memiliki NISN? Bukankah wajar bila edaran tersebut hanya menyebutkan siswa kelas 1 SD, karena hanya merekalah (siswa kelas 1 SD) pendatang baru dan belum memiliki NISN. Namun mengingat sejarah NISN serta kondisi sekolah pada umumnya, akhirnyapun saya memaklumi. Sebagaimana rumitnya pengalaman saya selama ini berurusan dengan data di lingkungan Kemdikbud.
  10. Terhadap itu, saya adalah orang masih percaya bahwa Kemdikbud dan mungkin juga kementrian lain adalah masih kurang layak menyandang predikat good apalagi excelent dalam masalah pengelolaan data. Kita kadang senang, suka, dan excited namun juga penuh dengan rasa cemas dan khawatir pada saat yang bersamaan. It’s not fair and unworthy karena hanya untuk mendapatkan sedikit “kelegaan” dibutuhkan harga yang sangat besar. 

Bersambung ke bagian kedua.



Comments